![]() |
Taufan Azhari (kanan) bersama Umar Abdul Aziz. Keduanya alumni Buntet yang melanjutkan studinya di Yaman. |
Taufan Azhari harus menunggu 14 hingga 15 jam untuk dapat berbuka
puasa di tempatnya menempuh studi saat ini, Yaman. Katanya, masyarakat Yaman
biasanya berbuka dengan kurma, sambosa, bakhomri, dan baqiyah dan minumnya
berupa sirup, air putih, dan air dingin. Sementara makan besarnya baru disantap
setelah Isya.
“Asyanya itu setelah Isya,” ujarnya kepada Media Buntet Pesantren
pada Rabu (23/5) di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Menurutnya, pelajar Indonesia di sana lebih suka menikmati
masakannya sendiri. Alumni Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Al-Inaroh 2 itu
menceritakan bahwa istilah sambal di sana sudah dikenal. Sebab, sambal asli
Yaman yang disebut sowahiq hanya berupa gilingan cabai dan tomat saja.
“Sejak kedatangan orang Indonesia terutama pelajar yang suka masak,
sambel terasi, dan lain-lain jadi dikenal,” katanya. Demikian membuat orang Indonesia
dikenal suka pedas. Bahkan, bakwan juga dikenal oleh mereka.
Kenikmatan masakan Indonesia itu menarik orang Arab untuk belajar
membuatnya. “Malah banyak orang Arab banyak yang belajar masak sama orang
Indonesia,” ucap Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Yaman itu.
Shalat Tarawih 100 Rakaat
Pelajar Fakultas Syariah dan Qanun Universitas Al-Ahqaf Yaman itu menjelaskan bahwa masyarakat Yaman bertarawih hingga 100
rakaat banyaknya. Hal ini bisa terjadi karena mereka shalat di lima masjid
berbeda dalam satu malam. Sebab, setiap masjid memiliki waktu tersendiri untuk
tarawihnya, tidak berbarengan di satu waktu persis selepas Isya. Artinya,
jadwal tarawih di setiap masjid berbeda, dari setelah Isya hingga menjelang
sahur.
“Bisa sampai 100 rakaat tarawih,” ujarnya saat ditanya berapa
jumlah rakaat shalat tarawih di sana.
Dengan niatan ngalap berkah masjid-masjid dan mengikuti lakunya
Habib Salim Asy-Syathiri, para pelajar Indonesia melakukan shalat tarawih di
lima masjid berbeda dalam satu malam. Sementara setiap masjid di sana,
melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat.
“Anak Indonesia gak sedikit yang tabarrukan di masjid-masjid sampai
bertarawih 100 rakaat sebagaimana Habib Salim Asy-Syathiri pernah melakoninya,”
pungkas a’wan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Yaman itu.
(Syakir NF)